Apakah pasti mereka telah menyembah kuburan
Tujuan beragama adalah untuk menjadi muslim yang ihsan yakni manusia yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu
wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan
hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung
menghubungkan anda kepada Allah”
Muslim yang ihsan atau muslim
yang sholeh adalah muslim yang dekat dengan Allah atau muslim yang
meraih maqom disisiNya yakni muslim yang telah dikaruniakan ni’mat oleh
Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada dalam kebenaran, selalu
berada pada jalan yang lurus.
Firman Allah ta’ala
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah
mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang
tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang
pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan
barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang
mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom disisiNya
dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang
membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau
muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana
yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala
dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini
kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi
mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati,
yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Muslim yang bermakrifat, menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh) atau minimal muslim yang selalu meyakini dalam pengawasan
Allah Azza wa Jalla maka mereka akan selalu mengaingat Allah
(dzikrullah) yakni setiap mereka akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari
perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga
terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah
Ubadah bin
as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui
(menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah
apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu
berada“. (HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari
Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah
melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau
melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya
telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia
menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan
hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya
Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat
dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam
kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti
kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau
tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau
akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah
yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri
mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa
selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak
ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah
segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain
Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”
Apakah kaum muslim yang berdoa
kepada Allah ta'ala di sisi kuburan kaum muslim yang sholeh atau kaum
muslim yang telah meraih maqom (derajat) disisiNya adalah sama dengan
menyembah kuburan ?
Kenapakah mereka berprasangka buruk
sehingga bahkan ada yang membunuhnya karena dianggap telah murtad dan
segala yang murtad , menurut pendapat mereka halal untuk di bunuh. Baca
uraian tentang apa yang dimaksud halal darahnya dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/05/halal-darahnya/
Rasulullah bertanya lagi: Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu
tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak? Rasulullah
terus mengulangi pertanyaan itu kepadaku hingga menyebabkan aku
berandai-andai bahwa aku baru masuk Islam saat itu. (HR Muslim 140)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu
yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi:
‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia
datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR
Muslim 142)
Kaum muslim yang berdoa kepada Allah ta'ala dan
bertawassul dengan kaum muslim yang sholeh atau kaum muslim yang telah
meraih maqom (derajat) disisiNya , sangat paham yang mengabulkan doa
mereka hanyalah Allah Azza wa Jalla semata.
Tak ada ulama salaf
yang sholeh yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati,
karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda
(seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah
kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang
dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yang
membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada
yang mati, maka mereka itu dapat terjerumus pada kemusyrikan karena
menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita
adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa
kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa
memberi manfaat dihadapan Allah, dengan kata lain berarti si hidup itu
sebanding dengan Allah, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan
Allah.
Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat
bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang
jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak
bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat”
Pada hakikatnya kaum muslim setiap hari bertawassul dengan orang-orang sholeh yang telah wafat
Para Sahabat ketika duduk dalam shalat (tahiyyat), bertawasul dengan
menyebut nama-nama orang-orang sholeh yang telah wafat maupun dengan
para malaikat namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan
untuk menyingkatnya menjadi “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish
shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba Allah yang
sholeh baik di langit maupun di bumi“.
Hamba Allah yang sholeh
di langit maknanya penduduk langit, para malaikat dan kaum muslim yang
telah meraih maqom disisiNya yang telah wafat, termasuk para Nabi yang
dijumpai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peristiwa
mi’raj , dan hamba sholeh di bumi adalah hamba Allah yang sholeh yang
masih hidup.
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh
telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al
A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia
berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA
‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL,
ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada
Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada
fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai
melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan
bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari
kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan;
AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU
‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU
‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan
kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan
tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada
hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya,
maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di
langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH
WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada
Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR
Bukhari 5762)
Pada peristiwa mi’raj , Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dipertemukan dengan para Nabi terdahulu yang telah
menjadi penduduk langit.
Rasulullah bersabda “Maka Allah pun
mengangkatnya untukku agar aku dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka
menanyakan kepadaku melainkan aku pasti akan menjawabnya. Aku telah
melihat diriku bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku
diperlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri melaksanakan shalat,
ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan berambut keriting,
seakan-akan orang bani Syanuah. Aku juga diperlihatkan Isa bin Maryam
yang juga sedang berdiri melaksanakan shalat. Urwah bin Mas’ud Ats
Tsaqafi adalah manusia yang paling mirip dengannya. Telah diperlihatkan
pula kepadaku Nabi Ibrahim yang juga sedang berdiri melaksanakan shalat,
orang yang paling mirip denganya adalah sahabat kalian ini; yakni diri
beliau sendiri. Ketika waktu shalat telah masuk, akupun mengimami mereka
semua. Dan seusai melaksanakan shalat, ada seseorang berkata, ‘Wahai
Muhammad, ini adalah malaikat penjaga api neraka, berilah salam
kepadanya! ‘ Maka akupun menoleh kepadanya, namun ia segera mendahuluiku
memberi salam (HR Muslim 251)
Penduduk langit mereka hidup sebagaimana para syuhada
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka
itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
(syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan
mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Penduduk langit atau
penghuni makhluk cerdas alam lain, yang diistilahkan dalam Alquran man
fi al-sama’, juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi
sebagaimana dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya para penghuni langit
mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Allah
bagaikan bintang yang bersinar di langit.”
Dalam Al Qur’an
dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di
dunia dan di akhirat.” (QS Yunus [10]:64).
Para ulama tafsir
mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad,
Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini. Rasulullah menjelaskan,
“Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau
diperlihatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.” Dalam ayat lain
lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika
matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.”
(QS al-Zumar [39]:42).
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya
mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian
merupakan perpindahan dari satu keadaan (alam) kepada keadaan (alam)
lain.”
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang
tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling
berkenalan sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan,
pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian.
Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian
disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji
Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada
Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al
Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam.
Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan
mengkategorikannya sebagai hadits shahih
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk
kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan
menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu
Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia
kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam
untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis
Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab
Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا،
وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan
keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik,
maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu,
maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai
Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan
hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Jadi kaum
muslim berdoa atau meminta kepada Allah ta’ala dengan bertawassul
(berperantara) pada ahli kubur karena kemuliaan ahli kubur di sisi Allah
Azza wa Jalla tidak akan hilang walaupun mereka telah wafat.
Hal ini sama dengan kaum muslim berdoa atau meminta kepada Allah ta’ala
dengan bertawassul (berperantara) dengan multazam, raudoh, hijr Ismail,
Maqom Ibrahim , Safa dan Marwa dan lain lain
Ada satu tempat
yang dahulunya dipakai pula untuk berdoa atau meminta kepada Allah
ta’ala dan bertawassul (berperantara) dengannya yakni Jabal Qubis ,
salah satunya dahulu digunakan untuk tempat perjanjian Hudaibiyah. Namun
karena ketidak pahaman mereka maka mereka menggunakannya untuk tempat
kesenangan duniawi semata.
Kaum muslim dapat berdoa atau
meminta kepada Allah ta’ala dengan bertawassul (berperantara) pada
tempat-tempat yang baik bekas jejak para kaum muslim yang telah dicintai
oleh Allah Azza wa Jalla termasuk dengan kediaman Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dekat Makkah Al Mukaromah
Kaum
muslim dapat berdoa atau meminta kepada Allah ta’ala dengan bertawassul
(berperantara) dengan waktu seperti sepertiga malam terakhir, ketika
wukuf di padang Arafah dan lain lain
Contoh lainnya berdoa
meminta kepada Allah ta’ala dengan bertawassul (berperantara) sesuatu
yang tentunya tidak dapat memberikan pertolongan secara langsung atau
jika tidak dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla yakni pada jubah, air
liur, surah Al Fatihah
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia
kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu
semuanya kepadaku” (QS Yusuf [12]:93)
Setelah itu, ia
meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia
meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya.
Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya.
Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia
lekas sembuh dengan mengenakannya. (HR Muslim 3855)
“Dan Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair dan
Abu Kuraib mereka berkata, telah mengabarkan kepada kami Hafsh bin
Ghiyats dari Hisyam dengan isnad ini. Adapun Abu Bakr, maka ia berkata
dalam riwayatnya; (Beliau bersabda kepada tukang cukur): HAA (cukurlah
rambutku). Beliau sambil memberi isyarat ke arah kepala bagian kanannya
seperti ini. Lalu beliau membagi-bagikan rambutnya kepada mereka yang
berada di dekat beliau”. (HR Muslim 2298)
“Lalu Rasulullah
bertanya; Di mana Ali bin Abu Thalib? Para sahabat menjawab; Ia sedang
menderita sakit mata ya Rasulullah. Rasulullah berkata, Bawalah ia
kemari! Tak lama kemudian, Ali bin Abu Thalib datang menemui Rasulullah.
Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuk kesembuhannya.
Tak lama kemudian kedua mata Ali sembuh tanpa ada rasa sakit lagi. (HR
Muslim 4423)
Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl
telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id
dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau
membaca: BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA
SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan
ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin
Rabb kami (HR Bukhari 5304)
Yang dimakasud “ludah sebagian kami” adalah ludah hambaNya yang telah meraih maqom disisiNya.
Begitupula telah dicotohkan oleh para Sahabat bertawassul dan bertabarruk dengan surah Al Fatihah
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah
mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil
dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan
perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu
perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu.
Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para
sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung
kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian
dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat
Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi
upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima
seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu
dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal
itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai
seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum
mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al
Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian
mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’
keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr
melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang
itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu
memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)
Wassalam
No comments:
Post a Comment