Sunday, August 12, 2012

Apakah demokrasi menepati norma islam

Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya: Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat Kebenaran adalah suara terbanyak Tuhannya banyak dan beraneka ragam Persamaan hak Ajaran-ajaran demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi sebagai dien padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan: ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﻴَﺄْﺧُﺬَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻦِ ِﻚِﻠَﻤْﻟﺍ “Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76) Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/ jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja… akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien. Sedangkan Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam. Untuk benar-benar mengetahui kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan membandingkannya dengan ajaran Islam. 1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat. Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan Legislatif (tasyri’iyyah – pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang ‘bebas’ seperti di negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar. Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya: ﺇِﻥِ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ ﺇِﻻ ِﻪَّﻠِﻟ “keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS. Yusuf [12]: 40) Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala: ﺇِﻥِ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ ﺇِﻻ ِﻪَّﻠِﻟ “…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57) Setelah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah Allah menentukan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻻ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻ ﻫُﻮَ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻓِﻲ ﺍﻷﻭﻟَﻰ ﻭَﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ َﻥﻮُﻌَﺟْﺮُﺗ “Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya- lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al Qashash [28]: 70) Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: ﻭَﻻ ﻳَﺼُﺪُّﻧَّﻚَ ﻋَﻦْ ﺁﻳَﺎﺕِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﺫْ ﺃُﻧْﺰِﻟَﺖْ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﺍﺩْﻉُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻚَ ﻭَﻻ ﺗَﻜُﻮﻧَﻦَّ ﻣِﻦَ َﻥﻮُﻌَﺟْﺮُﺗ ِﻪْﻴَﻟِﺇَﻭ ُﻢْﻜُﺤْﻟﺍ ُﻪَﻟ ُﻪَﻬْﺟَﻭ ﻻِﺇ ٌﻚِﻟﺎَﻫ ٍﺀْﻲَﺷ ُّﻞُﻛ َﻮُﻫ ﻻِﺇ َﻪَﻟِﺇ ﻻ َﺮَﺧﺁ ﺎًﻬَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻊَﻣ ُﻉْﺪَﺗ ﻻَﻭ (٨٧) َﻦﻴِﻛِﺮْﺸُﻤْﻟﺍ “Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi- Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88) Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah serta uluhiyyah-Nya, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)” Ini adalah dienullah yang dianut oleh kaum
muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺒْﺘَﻎِ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻹﺳْﻼﻡِ ﺩِﻳﻨًﺎ ﻓَﻠَﻦْ ﻳُﻘْﺒَﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﻣِﻦَ َﻦﻳِﺮِﺳﺎَﺨْﻟﺍ “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85) Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…? Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…? Bayangkan saja… bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca: dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis. Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya. ﺃَﻻ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﻠَّﻄِﻴﻒُ ُﺮﻴِﺒَﺨْﻟﺍ “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67]: 14) 2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan. Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau
mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman: ﺇ ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺤْﻜُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ َﻥﻭُﺮِﻓﺎَﻜْﻟﺍ “…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44) Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ﻭَﻻ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﺬْﻛَﺮِ ﺍﺳْﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻔِﺴْﻖٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦَ ﻟَﻴُﻮﺣُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻟِﻴُﺠَﺎﺩِﻟُﻮﻛُﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﻃَﻌْﺘُﻤُﻮﻫُﻢْ ﺇِﻧَّﻜُﻢْ َﻥﻮُﻛِﺮْﺸُﻤَﻟ “Dan janganlah kamu memakan binatang- binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121) Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang- orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu” Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar… Bila saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Allah vonis musyrik, maka apa gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam? Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan Demokrasi. Oleh sebab itu para ulama tetap ijma atas kafirnya orang yang menerapkan kitab Undang-undang hukum Tartar (Yasiq/ Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil dari Syari’at Islam. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119). Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”. Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ َﻚْﻴَﻟِﺇ “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al Maidah [5]: 49) Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan “menurut seperti apa yang diturunkan Allah”. Dalam ajaran demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah: ﺃَﻓَﺤُﻜْﻢَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ َﻥﻮُﻐْﺒَﻳ “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50) Dalam ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan demokrasi mengajak orang-orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman: ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺰْﻋُﻤُﻮﻥَ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺑِﻤَﺎ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﻳُﺮِﻳﺪُﻭﻥَ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﺤَﺎﻛَﻤُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻄَّﺎﻏُﻮﺕِ ﻭَﻗَﺪْ ﺃُﻣِﺮُﻭﺍ ﺃَﻥْ ﻳَﻜْﻔُﺮُﻭﺍ ِﻪِﺑ “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa [4]: 60) Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan: ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬُﻢْ ﺗَﻌَﺎﻟَﻮْﺍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘِﻴﻦَ ﻳَﺼُﺪُّﻭﻥَ ﻋَﻨْﻚَ ﺍًﺩﻭُﺪُﺻ “Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang- orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61) Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan: ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩُﻋُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻟِﻴَﺤْﻜُﻢَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﻓَﺮِﻳﻖٌ ﻣِﻨْﻬُﻢْ َﻥﻮُﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ ُﻢُﻫ َﻚِﺌَﻟﻭُﺃ ْﻞَﺑ ُﻪُﻟﻮُﺳَﺭَﻭ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻒﻴِﺤَﻳ ْﻥَﺃ َﻥﻮُﻓﺎَﺨَﻳ ْﻡَﺃ ﺍﻮُﺑﺎَﺗْﺭﺍ ِﻡَﺃ ٌﺽَﺮَﻣ ْﻢِﻬِﺑﻮُﻠُﻗ ﻲِﻓَﺃ (٤٩) َﻦﻴِﻨِﻋْﺬُﻣ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ﺍﻮُﺗْﺄَﻳ ُّﻖَﺤْﻟﺍ ُﻢُﻬَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ْﻥِﺇَﻭ (٤٨) َﻥﻮُﺿِﺮْﻌُﻣ “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur [24]: 48-50) Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…? Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…? ﺃَﻓَﻐَﻴْﺮَ ﺩِﻳﻦِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺒْﻐُﻮﻥَ ﻭَﻟَﻪُ ﺃَﺳْﻠَﻢَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽِ ﻃَﻮْﻋًﺎ ﻭَﻛَﺮْﻫًﺎ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ َﻥﻮُﻌَﺟْﺮُﻳ “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)


No comments: