JUSTIFIKASI WAHABI MELAMPAU
Mereka
adalah hasil pengajaran ulama yang dipaksakan oleh penguasa kerajaan
dinasti Saudi untuk mengikuti pola pemahaman ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri
(perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi sehingga memahami Al Qur'an
dan Hadits dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau dengan
metodologi "terjemahannya saja" yakni bersandarkan arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminologi) saja
Jika ingin menggali sendiri hukum-hukum dari Al Qur’an dan Hadits harus mempunyai kompetensi antara lain
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing
mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Jika belum berkompetensi menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits
maka ikutilah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab
yang empat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut
dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa
Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh.
Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal
dan utama adalah Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat
bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam
Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya
langsung dan Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau
manhaj Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat adalah para
ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni
membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi cara kaum muslim
mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertalaqqi (mengaji) dengan para
ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”
adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
yakni para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu
atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat atau memiliki ilmu riwayah
dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Bahkan kalau melalui
para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada umumnya memiliki
ketersambungan dengan lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
melalui dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah /
keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun
praktek yang diterima dari orang tua-orang tua mereka terdahulu
tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2.
Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi
(mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah
dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki
ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran
sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Contoh kesalahpahaman mereka adalah memahami hadits "Kullu bid'atin dholalah" dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat.
Andaikan mereka menggunakan alat-alat bahasa seperti nahwu, shorof,
balaghoh tentulah mereka tidak akan tersesat atau salah paham.
Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini
adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi
yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.”
(Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam.
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib,
mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah
yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim,
Juz 7, hal 105]
Oleh karena kesalahpahaman mereka dalam
memahami hadits "Kullu bid'atin dholalah" berakibat mereka mengada-ada
larangan yang tidak dilarangNya, mewajibkan yang tidak diwajibkanNya,
aeperti
Mereka membuat larangan seperti "Janganlah
bersholawat yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam karena hal itu termasuk bid'ah dholalah"
Mereka
membuat kewajiban seperti "Bersholawatlah sebagaimana yang dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , janganlah menyelisihi
sunnah nya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak
pernah mewajibkan bersholawat hanya sebagaimana yang dicontohkannya dan
tidak pernah pula melarang kaum muslim bersholawat sebagaimana mereka
ingin mengungkapkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Pemimpin atau imam ijtihad (imam mujtahid mutlak)
kaum muslim seperti Imam Syafi’i ~rahimahullah pun mempunyai
matan/redaksi sholawat yang dibuatnya sendiri seperti.
“Ya
Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang
yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk
menyebut-Mu ”
atau
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat
atas cahaya di antara segala cahaya, rahsia di antara segala rahasia,
penawar duka, dan pembuka pintu kemudahan, yakni Sayyidina Muhammad,
manusia pilihan, juga kepada keluarganya yang suci dan sahabatnya yang
baik, sebanyak jumlah kenikmatan Allah dan karunia-Nya.
JUSTIFIKASI WAHABI MELAMPAU
Perbuatan
mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya , mengharamkan yang tidak
diharamkanNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkanNya adalah termasuk
bid'ah dalam urusan agama (urusan kami) atau bid'ah dholalah
Perintah dan larangan adalah urusan agama dan hanya berasal dari Allah Azza wa Jalla
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal
pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa
agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah
diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya
dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala
tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan
kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka
jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka
jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal
sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan
tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)
Rasulullah
Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan
dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya
adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka,
terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa
terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan
tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’,
beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak
tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu
dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam
Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah [5]:3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak
ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu
yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang di syariatkan-Nya.”
Telah sempurna agama Islam
maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah
diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah
perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ
الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ
يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ
مَسْأَلَتِهِ
“Orang muslim yang paling besar dosanya
(kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya
tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin,
tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena
pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi
bid’ah dalam “urusan agama” (urusan kami) adalah bid’ah dalam urusan
yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau
mensyariatkannya atau bid’ah dalam perkara syariat yakni mengada-ada
larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak
diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa
yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu
tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia
ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba
itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu
yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya
terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta
sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta
itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu
mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada
riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib
dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang
demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Selain itu oleh karena mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan
makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau dengan metodologi
"terjemahannya saja" mereka terjerumus kedalam kekufuran dalam i'tiqod
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita
untuk tidak memahami ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna
dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya
al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma
Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat
Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat)
memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami
oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan
istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati
Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah
mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn
Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika
kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka
menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda
dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim
lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam
i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan
tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya
‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan
bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim
(bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat
mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
No comments:
Post a Comment