TRADISI TAHLILAN SETELAH MENINGGAL
TRADISI TAHLILAN SETELAH MENINGGAL
Para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendo'akan
keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut.....
Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa
tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama
Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sa
ma sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan
menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw
dan para tabi’in.
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits
kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin
al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau
sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu
‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat)
didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan)
agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari
tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin
Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga
menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2]
Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in
(w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3]
Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa
dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi
mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum
Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah
mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga
bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa
khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’,
dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka
tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran
(kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal
selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri
shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini
telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan
ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat
bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa
berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz
as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7
hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini
berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan
Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak
masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi),
dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan
ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka
mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya
selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti
yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan
dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari
Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah
(5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai
berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن
سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله
عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل
قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي
بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد
وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد
المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء
الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin
Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun,
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari
al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar
‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan
masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku
tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu
‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar
shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar
membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari
mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia
tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina
‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ;
wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah
selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Hikmah dari
hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan
murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak
masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah
pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab
antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi
Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).
وعن الأحنف بن قيس قال:
“كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب
إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي
بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا
وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد
المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم –
فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من
هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه
أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان
“Dan dari al-Ahnaf
bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu
‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah
pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari
perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada
Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan
makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari
mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan
namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka
datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai
manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat,
dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat
dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh
kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan
(mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua
makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad
bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin
Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul
Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H),
dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya
ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ;
Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali
al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam
Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu
Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam
Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia
difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt
Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka
yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan
seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia
difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama
empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam
Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus
termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat
tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama
negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh
orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H
yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah
pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut
versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka
berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang
diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang
sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang
tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu
hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf
(riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam
kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar
(bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah
meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw
telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw
sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat
puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in
dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula
oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
Wallahu A’lam.
[1]
Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah
a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan
an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin
Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin
(1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam
al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah
(834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’
lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar
bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,
menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada
kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari
Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di
fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka
‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang
pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat :
al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H),
disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat
yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230
H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin
(sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah
al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar
al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthiy
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir,
Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua
sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits
no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat
dan diperbolehkan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam”, dan adapula
riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan
untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan
Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya,
“Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga
Muhammad dan dari Ummat Muhammad”
(Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit)
merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang
memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya
terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan
lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau
dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka
sebagian Ulama Syafi’i mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi
tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal
untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn
Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang
Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat :
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى
“dan bahwasanya tiada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
Maka Ibn Abbas rodliyallahu ‘anh menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ
مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan
orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka...
(QS. ath-Thuur 52 : 21)”.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang
bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang
mengirim amal, dzikir dan lain-lain untuknya ini jelas jelas bukanlah
amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang
dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah
memerintahkan di dalam Al-Qur'an untuk mendoakan orang yang telah wafat :
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا
بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),
mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
(QS. al-Hasyr 59 ; 10)
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang
memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan
berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Bila hal
ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan
computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang
kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat
gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka
boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi
yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang
yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya
Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas
Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula”
(HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw,
selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka
setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia
tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al
Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat,
maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw :
Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat
Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al-ikhlas akan
membuatmu masuk sorg.
(Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang
itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul
shallalahu ‘alayhi wa sallam tak melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al
hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu)
hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim
hadiah pada Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam :
Berkata Imam
al-Hafidz al-Muhaddits Ali bin al-Muwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu
30 haji untuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
Berkata
al-Imam al-Hafidz al-Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy
Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor
untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an
untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan kujadikan
seluruh amalku untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia
menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir
pada 218 H dan wafat pada 313 H.
Berkata Al-Imam Al-Hafidz Abu Ishaq
Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk
rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk
Rasulullah saw.
No comments:
Post a Comment