Wajibkah kita bermazhab?
oleh Abu Mudi pada 27 Juli 2012 pukul 5:23 ·
karena ada salah satu penanya yang menanyaakn dalil kewajiban
bermazhab, berikut kami tampilkan sedikit uraian tentang Mazhab dan
bermazhab, semoga bermanfaat.
sebelum kita menghukumi apakah wajibkan kita bermazhab atau tidak ada
baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab? berikut penjelasan
sedikit tentang hal tersebut.
Mazhab.
Mazhab adalah ism makan atau ism zaman yang berasal dari kata;
ذهب – يذهب – ذهبا / ذهابا
yang berarti pergi atau berjalan, maka secara bahasa arti mazhab adalah
tempat berjalan/jalan atau waktu berpergian. Pengertian mazhab dalam
bingkai syari`at adalah sekumpulan pemikiran Imam Mujtahid dibidang
hukum-hukum syari`at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara
terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi Mazhab yang kita maksudnya di
sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita mengenal empat Mazhab dalam
dunia islam, yaitu:
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi
dibentuk oleh seorang ulama besar kufah yang bernama lengkap, Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufii. Beliau lahir pada tahun
80 H dan wafat pada tahun 150 H. beliau adalah termasuk dalam atba’
al-tabi’in, dan ada ulama yang mengatakan bahwa beliau tergolong dalam
Tabi’in, yang hidup dalam dua daulah yaitu daulah umayyah dan daulah
‘abbasiyyah, sehingga beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan
juga meriwatkan hadits darinya.[1] Sekarang ini mazhab Hanafi merupakan
mazhab di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut
sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India
dan Tiongkok.
Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan
oleh seorang ulama besar madinah yang lahir pada tahun 93 H/73 M, dari
keluarga Arab terhormat, bernama lengkap Abu ‘Abdillah Malik bin Anas
bin Malik bin Abi ‘Amir bin amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr
bin Haris al-Ashbahi. Orang tua dan leluhurnya dikenal sebagai ulama
hadits Madinah, kerena ini membuat imam Malik sejak kecil mencintai ilmu
hadits dan ilmu lainnya. Mula-mula beliau menimba ilmu hadits pada ayah
dan paman-pamannya. Kemudian berguru kepada ulama-ulama terkenal antara
lain, ‘Abd ar-Rahman bin Hurmuz dan Nafi’ Maula Ibn ‘Umar. Dan guru
beliau dibidang fiqh ialah, Rabi’ah bin ‘Abd Ar-Rahman, dan imam Ja’far
ash-Shadiq[2].
Imam Malik telah menguasai banyak
ilmu sehingga tidak sedikit ulama yang menimba ilmu padanya, termasuk
diantaranya imam Syafi’i penegak pertama mazhab Syafi’i, Bahkan menurut
satu riwayat, murid terkenal imam Malik mencapai 1.300 orang.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki. saat ini ada di Marokko,
Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama yang lahir pada tahun 150 H, di
Gazza bagian selatan dari Palestina. Bernama lengkap imam Abu ‘Abd
al-llah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin Saib
bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthallib al-Quraiyi al-Hasyimi,
yang bertemu dengan Rasulullah pada kakek beliau yang kesembilan.
Sedangkan ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain
bin ‘Ali Ra yang merupakan shahabat dan menantu Rasulullah SAW.
Sejak masih usia Sembilan tahun, beliau sudah hafal seluruh al-Qur’an,
kemudian dalam usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal kitab
al-muwattha’ imam Malik yang memuat lima ribu hadits-hadits shahih.
Banyanya ilmu yang beliau miliki karena ketekunannya dalam mencari ilmu,
hampir setiap pusat ilmu berliau ziarahi seperti Mekkah, Madinah, Iraq,
Kufah dan Mesir, disana beliau berjumpa dengan ulama-ulama besar,
seperti imam Malik, dimana imam Syafi’i selalu bersama beliau selama
satu tahun. Dan Abu Yusuf, ashhab dari Abu Hanifah.
Pada tahun
179 H, beliau diberi izin oleh imam Malik untuk berfatwa sendiri, namun
beliau tetap bertaqlid pada guru-gurunya, sehingga pada tahun 198 H,
sesudah usia beliau genap 48 tahun, mulailah berfatwa sendiri dengan
lisan maupun dengan tulisan, pertama memberi fatwa di ‘Iraq yang
diishtilahkan dengan al-Qaulul Qadim, kemudian berpindah ke Mesir dan
fatwa beliau selama disini diishtilahkan dengan al-Qaulul Jadid. Di kota
inilah beliau menghadap Allah Swt sesudah shalat maghrib malam Jum’at,
akhir bulan Rajab pada tahun 204 H, bertepatan dengan 28 Juni 819 M.
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir,
Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina,
Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo
China, Sunni-Rusia dan Yaman.
Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
bin Asada az-Zuhili asy-Syaibani, beliau lahir di pusat pengembangan
islam Baghdad pada tahun 164 H dan dikota ini pula banyak menghabiskan
masa hidupnya untuk mengabdi pada pendidikan islam sehingga wafat pada
bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H, sebagaimana ulama lainnya, beliau juga
hijrah kepusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti, kufah, Bashrah,
Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.
Beliau adalah
seorang ulama hadits, dan fiqh yang banyak menghafal hadits dari
guru-gurunya antara lain Imam Syafi’i dan Hasyim bin Basyir bin Abi
Khazim al-Bukhari sehingga beliau menyusun satu kitab yang memuat empat
puluh ribu hadits. Banyak para ulama yang memberi kesaksian atas
ketinggian ilmunya, antara lain Ibrahim al-Harbi berkata “aku lihat
Ahmad bin Hanbal seolah-olah beliau telah mengumpulkan ilmu ulama
terdahulu dan selanjutnya”[3]. sekarang ini Mazhab Hanbali menjadi
mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar
di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Selain
mazhab yang empat masih terdapat mazhab lain, seperti Mazhab
Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (wafat 93 H). Mazhab
Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (wafat 270
H), Mazhab Laist yang didirikan oleh imam al-Laits bin sa’ad bin’Abdur
rahman al-Fahmi ( 94 H-175 H), Mazhab Tsaury didirikan oleh Imam Sufyan
ibn Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’I, ( 97 H/715 M ), Mazhab
Auza`i didirikan oleh Abdurrahman Al Auza'i (wafat 113 H), Mazhab Ishaq
ibn Rahawiyah, Mazhab Sufyan bin Uyainah, Mazhab Imam Hasan Basri.
Namun selain mazhab yang empat semuanya tidak bertahan lama
pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya masih hidup, setelah
beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya. Karena itu sangat
sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi bermazhab dengan
selain yang empat.
Ijtihad
Ijtihad adalah etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan
pengertian Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan
untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap satu hukum.[4] Pelaku ijtihad
disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah semenjak Rasulullah SAW, saat
Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin Jabal ke negri Yaman
menjadi hakim, Rasulullah bertanya: ‘’Dengan apa kamu akan menuturkan
perkara yang diadukan padamu? Mu`az menjawab; dengan hukum yang tertera
dalam kitabullah. Rasulullah bertanya lagi; jika engkau tidak menemukan
dalam kitabullah? Mu`az menjawab; aku akan menghukumi dengan
keputusan-keputusan Rasulullah. Rasululah terus bertanya; “jika kamu
tidak mendapatkan keputusan Rasulullah? Mu`az menjawab; “Aku akan
berijtihad dengan pendapatku’’ (H.R. Ad Darimy)
Syarat ijtihad
Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan
shahabat Nabi sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri.
Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi. Secara ringkas syarat-syarat
tersebut antara lain:[5]
Baligh
Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).
Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)
Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).
Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah (loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)
Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.
Mengusai serta ahli dalam memraktekkan qawaid-qawaid syara`
Mengenal nasikh dan mansukh.
Mengetahui masalah-masalah ijmak.
Memahami ushul fiqh.
Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.
Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif dan keadaan perawi.
Mengusai kaifiah nadhar.
Syarat-syarat ini sangat sukar mampu dicapai oleh seseorang, sehingga
Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada
masa ini telah ozor untuk dicapai.[6]
Tingkatan para Mujtahid
Mujtahid terbagi dua:
Mustaqil.
Ghairu Mustaqil.
Mustaqil adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat
ijtihad mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah
mazhab lainnya.
Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak
diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi
mengatakan keinginan manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid
adalah suatu hal yang mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini
antara lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya
sebelum masa mereka.
Ghairu mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:
Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil
karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia
masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum
masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada
tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan
mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak
keluar dari qawaid dan dalil Imam.
Syarat mujtahid pada
tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam,
menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali
dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash
Imam.
Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash
syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh.
Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
Mujtahid yang tidak
sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami
mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ
yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup
mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini
adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
Mujtahid yang mampu menaqal
dan memahami mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun
tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]
Sebagian para ulama membagi tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :
Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.[11]
Kewajiban bermazhab.
Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai
(alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam
diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki
kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai
Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak
memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka
mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.
Kewajiban
terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah
disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi
para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat
menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka tidak
boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa
berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al Quran dan
Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka
mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi
mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist,
Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah
dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya
beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya
melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang
harus berijtihad. Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan
terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk
berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu
menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.
Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan
dengan mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya.
Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih
dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari
cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini
tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh
tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam
taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai
syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum
yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.
Ayat dan Hadis landasan Taqlid.
Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang
menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
Surat Al Anbiya ayat 7
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)
Memang ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi
orang-orang musyrik yang menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul
dari jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi
pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman
(universal) lafadz ayat.
Dengan demikian ayat diatas sebenarnya
mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar
bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka.
Secara tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang
pintar. Tidak ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di
jadikan dalil kewajiban taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat,
sebab bila diperhatikan lebih teliti, perintah diatas termasuk perintah
mutlak dan umum.Tidak ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang
dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil
kewajiban taklid.
Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: ‘’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu’’ (An Nisa 59)
‘’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan
‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah
ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini
diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain
disebut taqlid.
Surat As sajadah ayat 24
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka
meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)
Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang
para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk
mengikuti petunjuk yang mereka berikan.
Hadis riwayat Turmuzi dll
اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ " (
أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ
مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّا)
“Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti dua Ulama yang juga
shahabat Nabi yaitu Abu bakar dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk
Taqlid.
Hadis riwayat Baihaqi
أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي)
“Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat Imam Baihaqi).
Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti
sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan TAQLID.
Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama
setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah
menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi
petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti
Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad
mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya
(ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga
dinamakan mengikuti Rasulullah.
Masih adakah mujtahid pada masa ini?
Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak
yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun
dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M -
505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr
Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas
menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak
diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid
mutlak. Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan
bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada
mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang
dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid
mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu
Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H
– 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau
maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]
Syeikh
Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan
ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah
sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan beliau
bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama terkemuka
yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M - 973 H/1565
M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy (925 H -
131 H) dll.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As
Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa
ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam
terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau
telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid
fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa
pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau
beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid
fatwa adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat
sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid
mutlaq.
Imam Haramain(399 H - 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/
1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada
zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam
Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh
padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan
bahwa ‘’kalau seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup
mengdektekannya dari dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang
merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua;
pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang
tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang
sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai
dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash
dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah
Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini
‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.
Dapat
disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai.
Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi,
Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka
masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[14]
Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim
(1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 - 1905 M), Rasyid Ridha
(1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh
kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan
Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang
masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada
yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah
Muhazzab karangan Imam Nawawy.
WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun, Aceh.
No comments:
Post a Comment