PENEMUAN NASKAH KITAB SIFAT DUA PULUH
[Telaah Filologis Naskah Melayu Kuno Islam Minangkabau]
MASIHKAH WAHABI BERANI MENGATAKAN BAHWA MEREKA ADALAH UMAT ISLAM ?
MASIHKAH WAHABI BERANI MENGATAKAN BAHWA MEREKA TIDAK MENYELISIHI ULAMA2 AHLUSSUNNAH?
MASIHKAH WAHABI BERANI MENGATAKAN BAHWA MEREKA TIDAK DATANG
BELAKANGAN, DAN PALING MERASA BENAR, DAN MENGKAFIRKAN SIAPAPUN YG TIDAK
SEJALAN DENGAN AJARAN MEREKA?
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan warisan budaya
nenek moyang. Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan-peninggalan
budaya dari masa lalu yang ditemukan di kawasan ini, antara lain
alat-alat perkakas sehari-hari, prasasti-prasasti, arca,
bangunan-bangunan candi, dan rumah-rumah adat. Selain peninggalan budaya
yang berupa material tersebut, ditemukan juga peninggalan budaya berupa
non-material yaitu tulisan yang ditulis oleh nenek moyang dengan
tulisan tangan dalam berbagai bahan tulisan.
Bahan-bahan tulisan itu antara lain dedaunan yang dikeringkan
seperti daun lontar dan daun nipah, kulit kayu, bambu, rotan, daluwang
(kertas Jawa), dan kertas. Alat tulisnya pun beragam sesuai dengan bahan
yang mereka gunakan untuk menulis tulisan tersebut. Untuk kulit kayu
dan bambu alat tulis yang digunakan adalah peso pangot, semacam alat
yang bermata runcing untuk mengukir tulisan-tulisan di atas bahan
tulisan tersebut kemudian disapu dengan jelaga agar ukiran itu terlihat.
Jika dikerjakan dengan teliti, cara penulisan seperti ini akan
menghasilkan tulisan yang bagus. Namun kelemahannya adalah kesalahan
tidak mungkin dikoreksi karena goresan atau ukiran ini tidak mungkin
diperbaiki.
Untuk alas naskah daluwang dan kertas alat tulis yang digunakan
adalah kalam (kuas/pena) dan tinta. Peninggalan-peninggalan budaya
berupa tulisan yang disebutkan di atas, lazim disebut dengan naskah.
Naskah merupakan dokumen yang berisi berbagai hal yang bermanfaat bagi
kita. Melalui naskah kita juga dapat mengetahui kapan suatu budaya baru
masuk dan berkembang dalam budaya yang telah lama hidup di masyarakat
kita dahulunya. Sebagai contoh, isi naskah tersebut bisa
menginformasikan kepada kita tentang kapan pertama kali Islam masuk ke
Indonesia, bagaimana penyebarannya, dan apa tanggapan dari masyarakat
Indonesia yang sudah lebih dahulu menganut suatu kepercayaan sebelumnya.
Semua itu akan terjawab salah satunya dengan membaca teks yang ada di
dalam naskah.
Teks berisi ide-ide atau gagasan, pokok pikiran, adat istiadat, pola
hidup, tata cara peribadatan dan tradisi budayanya. Karya ini memberi
informasi kepada kita tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Namun
seiring berkembangnya zaman, informasi yang terkandung di dalam tulisan
tersebut sering mengalami transformasi. Akibatnya muncul banyak teks
yang terdapat dalam berbagai bentuk dan cara penulisan.
Hal ini terjadi karena teks atau tulisan itu ditulis berulang-ulang
secara manual dengan menggunakan tangan sehingga ketidakjelasan huruf
ataupun lubernya tinta yang mengganggu pembacaan sering menyebabkan
pembaca ataupun penyalin naskah kesulitan untuk menafsirkan bacaannya.
Selain itu kreatifitas penyalin yang mengubah salinan untuk menyesuaikan
isinya dengan zaman juga menyebabkan informasi di dalam naskah pun
mengalami perubahan. Perubahan ini akan terus berlanjut selama teks ini
mengalami penyalinan secara terus-menerus. Seandainya teks yang memiliki
ketidakjelasan huruf ini dijadikan sumber salinan teks baru yang
benar-benar sama isinya, perubahan dan penafsiran yang keliru akan terus
berlanjut pada turunan-turunan teks selanjutnya.
Penggalian informasi yang terkandung di dalam sebuah naskah,
bukanlah perkara yang mudah. Banyak kesulitan dan rintangan yang mungkin
akan dihadapi peneliti naskah di antaranya adalah bahan naskah yang
berasal dari alam yang menyebabkan naskah mudah lapuk. Di samping itu,
faktor usia naskah sendiri yang sudah tua ditambah lagi penyimpanan yang
kurang cermat sehingga naskah menjadi terlantar, tertumpah benda cair,
menyebabkan naskah tidak mungkin lagi disentuh apalagi dibaca.
Apalagi seandainya naskah tersebut sampai hilang atau terbakar maka
informasi yang terkandung di dalam naskah tersebut tidak akan pernah
sampai kepada kita selaku generasi baru. Selain itu, aksara yang
digunakan di dalam naskah pun sudah tidak dikenal lagi oleh masyarakat
sekarang, walaupun naskah tersebut berasal dari daerahnya sendiri.
Seandainya ada, jumlah orang yang masih dapat membaca aksara lama ini
pun tidak banyak dan sudah berusia lanjut. Orang-orang ini umumnya hafal
dengan isi naskah yang berasal dari daerah mereka tersebut. Sayangnya,
hanya sedikit generasi muda yang tertarik untuk membahas dan belajar
dengan mereka. Achadiati (1997:28) mengemukakan kebanyakan orang
Indonesia tidak mengenal aksara mereka sendiri sehingga mereka merasa
asing dengan hal itu. Dari keasingan ini timbullah sikap tak sayang yang
menyebabkan mereka juga kurang menghargai keberadaan naskah. Padahal
aksara dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting timbulnya
naskah.
Menurut Pradotokusumo (1986:1), aksara atau hasil goresan tangan
nenek moyang Indonesia yang tertua adalah kakawin Ramayana yang berasal
dari abad ke-9 yang menggunakan aksara Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan
satu-satunya kakawin yang diketahui berasal dari Jawa Tengah yang masih
dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha. Dapat diperkirakan bahwa tulisan
ini merupakan tulisan pertama dalam naskah yang dikenal oleh nenek
moyang kita.
Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, Islam
menyumbangkan aksara baru yaitu aksara Arab. Aksara ini kemudian meluas
dan menyebar di beberapa daerah di Nusantara, antara lain dataran
Melayu, Sunda, dan Buton. Aksara Arab kemudian mendominasi aksara-aksara
daerah yang sudah ada sebelumnya di Nusantara. Aksara Arab tersebut
beradaptasi dengan bunyi bahasa yang ada di Nusantara sehingga
menghasilkan aksara-aksara baru yang kemudian diadopsi menjadi aksara
sendiri. Misalnya di daerah Melayu, dikenal adanya aksara Arab Jawi atau
Arab Melayuu, di Sunda dikenal dengan aksara Arab Pegon, dan di Buton
menjadi aksara Buri Wolio.
Aksara Arab yang sudah diadaptasi ini maksudnya adalah huruf Arab
yang digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, misalnya untuk aksara
Arab Melayu merupakan aksara Arab yang menggunakan bahasa Melayu atau
Bahasa Minangkabau. Aksara Arab tersebut akhirnya mengalami penyesuaian
untuk bunyi-bunyi seperti /c/, /g/, /η/, dan /ñ/ dengan pemberian
titik-titik tambahan sebagai penanda, yaitu چ untuk bunyi /c/, ک untuk
bunyi /g/, ڽ untuk bunyi /η/, dan ﻉ untuk bunyi /ñ/. Dengan demikian,
muncullah naskah-naskah yang menggunakan aksara ini di seluruh daerah
yang menggunakannya. Aksara Arab yang mengalami modifikasi ini
mengungguli aksara India yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat di
Nusantara.
Dapat dikatakan di sini bahwa di seluruh kepulauan Nusantara, kata
dan ungkapan yang ada kaitannya dengan keislaman diterima ke dalam
bahasa pribumi. Khusus untuk sastra Melayu klasik, khazanah Islam yang
dimilikinya sangat luas (Achadiati, 1997:138). Terbukti dengan banyaknya
naskah-naskah keagamaan yang dihasilkan di kawasan ini. Selain itu
fisik tulisan sangat mendukung pernyataan ini. Salah satu daerah di
Nusantara yang menggunakan aksara ini untuk menuliskan ide-ide, adat
istiadat, dan pola hidup mereka adalah Melayu khususnya yang berada di
ranah Minangkabau. Bangsa Melayu menyebut aksara ini dengan aksara Arab
Melayu.
Pada umumnya, naskah-naskah yang berasal dari Minangkabau
menggunakan Arab Melayu baik itu naskah sastra, adat istiadat, sejarah,
obat-obatan, keislaman, maupun mantra-mantra untuk tujuan magis.
Penggunaan aksara ini di Minangkabau mengindikasikan bahwa betapa
kuatnya sendi Islam ada di Minangkabau sejak orang Minang mulai mengenal
Islam. Salah satu naskah yang digali dalam penelitian ini adalah naskah
Kitab Sifat Dua Puluh (selanjutnya disebut dengan KSDP).
Naskah ini merupakan naskah keislaman. Hidayat (2007:1-4)
mengungkapkan bahwa aspek pembeda yang menentukan naskah tersebut adalah
naskah Islami adalah dari:
(1) aksara, aksara yang digunakan adalah aksara Arab dan aksara Arab Pegon atau aksara Arab Melayu.;
(2) penggunaan bahasa Arab dan istilah-istilah Arab dalam naskah-naskah yang berisi ajaran Islam tersebut;
(3) kandungan naskah atau teksnya adalah tentang berbagai ajaran Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan keislaman; dan
(4) bahan materialnya adalah kertas baik yang dibuat secara tradisional
(daluwang) ataupun kertas pabrik, alat tulisnya berupa pena dengan
tinta berwarna hitam atau pada bagian tertentu menggunakan tinta merah.
Naskah KSDP merupakan salah satu dari sekian banyak naskah keislaman
milik masyarakat Minangkabau yang belum tergali. Naskah ini berisi
pemikiran kalami (teologi Islam) yang dimaksudkan pemikiran ketuhanan
(tauhid) menurut alur pikir ilmu kalam atau teologi yang berlandaskan
ajaran Islam. KSDP memaparkan tentang sifat-sifat Allah SWT dan pada
rasul-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.
Ukuran naskah: 14x 21 cm; blok teks: 4,5×7 cm; rata-rata terdiri
dari 14 baris tiap halaman; penomoran halaman dibuat ganda dengan
menggunakan angka Arab dan Latin; terdiri dari 24 halaman; tulisan
dibingkai dengan dua garis halus berwarna hitam; bahasa yang digunakan
adalah bahasa Melayu dan Arab; penulis naskah ini adalah Datuk Mali Puti
Alam (82 tahun). Datuk Mali Puti Alam (82 tahun). Kondisi naskah:
naskah masih bagus dan tulisannya masih dapat terbaca. Naskah ini
terdapat di surau Suluk yang beralamat di Nagari Katinggian, Kecamatan
Harau, Kabupaten Limapuluh Kota.
(Artikel Lengkap, dipublish di Jurnal Khazanah Edisi 4/2010 – Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam FIB-Adab IAIN Padang)
Diposkan oleh IFA dan MALIKA ILHAM di 03:25
Label: Filologi, Kajian Teoritik, Naskah Melayu Minangkabau
Kelompok
Wahabi melarang belajar tentang apa yang dinamakan sifat 20 atau i’tiqad
50 dengan alasan tidak ada dasar dan asas, tidak ada teladan dan
panduan, tidak ada pada masa Rasulullah, tidak ada pada masa Shahabat,
Tabi’in, Tabi’ittabi’in, Salaf dan Khalaf.
Kita mengatakan bahwa belajar sifat 20 atau i’tiqad 50 adalah
penjabaran dan pemahaman serta pengamalan hadits Rasulullah yang
berbunyi “Awal-awal agama adalah mengenal Allah”. Bagaimana cara
mengenal Allah sedangkan Allah tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba,
tidak bisa didengar?
Kita mengatakan bahwa mengenal sifat Allah adalah syarat untuk
mengenal Allah. Sebenarnya sifat Allah bukan hanya 20 sifat, sifat Allah
itu segala sifat kesempurnaan yang tidak ada yang tahu jumlahnya
kecuali Allah sendiri. Ulama Ahlussunnah hanya mewajibkan mengenal 20
sifat Allah karena 20 sifat itu ada nashnya dalam Al-quran dan Hadits.
Kelompok Wahabi melarang belajar sifat-sifat tersebut diatas.namun
anehnya mereka menciptakan suatu model pengajian tauhid sendiri yang
mereka namakan dengan “Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah”.
Dalam pencetusan dan penerapan metode pengajian tersebut
sesungguhnya wahabi lupa bahwa sesungguhnya metode itu pun belum ada
pada masa Rasulullah dan pada zaman sahabat. Berarti metode itu adalah
metode yang juga tidak ada asas dan dasar, tidak ada tauldan dan
panduan, berarti bid’ah, sesat dan neraka.
Dua jenis ilmu tauhid dalam kelompok Wahabi :
1.Tauhid Rububiyah
yaitu tauhidnya orang kafir dan tauhidnya orang musyrik yang menyembah
berhala, atau dengan kata lainnya “Tauhid” orang yang syirik.
2.Tauhid Uluhiyah yaitu tauhidnya orang Mukmin, tauhidnya orang Islam serupa iman dan Islamnya Wahabi.
Wahabi mengatakan bahwa dalam Al Quran terdapat ayat tentang tauhid Rububiyyah, yaitu:
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Kepunyaan siapakah langit dan bumi dan
semua isinya kalau kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan
Allah. Katakanlah kepada mereka: Mengapa kamu tidak mengambil
perhatian?” (Al-Mukminun:84-85)
Dengan ayat ini kaum Wahabi mengatakan bahwa orang kafir pun percaya
kepada adanya Tuhan tetapi imannya tidak sah karena menyembah berhala
disamping pengakuannya kepada adanya Tuhan yaitu Allah.
Lihatlah falsafah Wahabi. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan digelar kaum yang ber-Tauhid Rububiyyah.
————————–————————–————————–————–
ADAKAH SAHABAT2 RASULULLAH MENAMAKAN ORANG MUSYRIK SEBAGAI UMAT TAUHID ??? TENTU TIDAK ADA !!! ^_^
————————–————————–————————–————–
Kaum Wahabi menciptakan pengajian baru untuk maksud-maksud tertentu,
diantaranya adalah untuk menggolongkan manusia yang datang menziarahi
makam Rasulullah di Madinah, orang yang bertawasul dan amalan
Ahlussunnah wal Jamaah yang lain sebagai orang “kafir” yang bertauhid
Rububiyah, dan hanya yang mengikuti mereka saja yang tergolong dalam
Tauhid Uluhiyah yang merupakan Tauhid sebenarnya menurut Wahabi. Sebuah
monopoli yang merasa paling benar sendiri…
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
No comments:
Post a Comment