TAMBAHKAN PAHALA SEDEKAH DIHARI JUMAAT
Jima' atau hubungan seks dalam pandangan Islam bukanlah hal aib dan
hina yang harus dijauhi oleh seorang muslim yang ingin menjadi hamba
yang mulia di sisi Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan agama lain
yang menilai persetubuhan sebagai sesuatu yang hina. Bahkan, sebagian
ajaran agama tertentu mewajibkan untuk menjauhi pernikahan dan hubungan
seks guna mencapai derajat tinggi dalam beragama.
Diriwayatkan
dalam shahihain, dari Anas bin Malik pernah menceritakan, ada tiga
orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan,
seolah-olah mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa
mereka tidak bisa menyamai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karena dosa
beliau yang lalu dan akan datang sudah diampuni. Lalu salah seorang
mereka bertekad akan terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang
satunya bertekad akan terus berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan
satunya lagi bertekad akan menjauhi wanita dengan tidak akan menikah
untuk selama-lamanya. Kabar inipun sampai ke telinga baginda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, lantas beliu bersabda kepada mereka,
"Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu? Adapun saya, Demi
Allah, adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di
bandingkan kalian, tapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya shalat
(malam) dan juga tidur, serta menikahi beberapa wanita. Siapa yang
membenci sunnahku bukan bagian dari umatku." (Muttafaq 'alaih)
Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa seks atau hubungan badan di
jalan yang benar akan mendatangkan pahala besar. Diriwayatkan dari Abu
Dzar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَفِي بُضْعِ
أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ
وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا
وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Dan pada kemaluan
(persetubuhan) kalian terdapat sedekah. Mereka (para sahabat) bertanya,
'Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang menyalurkan
syahwatnya lalu dia mendapatkan pahala?' Beliau bersabda, 'Bagaimana
pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan pada tempat yang
haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut
diletakkan pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala." (HR.
Muslim)
....Di dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup, kenikmatan dan kebaikan kepada sesama....
Ibnul Qayyim, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Istambuli dalam Tuhfatul
'Arus, mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajak kepada
umatnya agar melaksanakan pernikahan, senang dengannya dan mengharapkan
(padanya) suatu pahala serta sedekah bagi yang telah melaksanakannya. Di
dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup, kenikmatan dan kebaikan
kepada sesama. Di samping itu, juga mendapatkan pahala sedekah, mampu
menenangkan jiwa, menghilangkan pikiran kotor, menyehatkan menolak
keinginan-keinginan yang buruk."
Kesempurnaan nikmat dalam
perkawinan dan jima' akan diraih oleh orang yang mencintai dan dengan
keridlaan Rabbnya dan hanya mencari kenikmatan di sisinya serta
mengharapkan tambahan pahala untuk memperberat timbangan kebaikannya.
Oleh karena itu yang sangat disenangi syetan adalah memisahkan suami
dari kekasihnya dan menjerumuskan keduanya ke dalam tindakan yang
diharamkan Allah.
Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Iblis
membangun istana di atas air (tipu muslihat), kemudian menyebarkan
istananya itu kepada manusia. Lalu iblis mendekatkan rumah mereka dan
membesar-besarkan keinginan (hayalan) mereka. Iblis berkata, 'Tidak ada
perubahan kenikmatan sampai terjadi perzinaan'. Yang lainnya berkata,
'Aku tidak akan berpaling sampai mereka berpisah dari keluarganya.' Maka
iblis menenangkannya dan menjadikan dirinya berseru, 'Benarlah apa yang
telah engkau lakukan'.
Kenapa Iblis begitu bersemangat untuk
menjerumuskan orang ke dalam perzinaan dan perceraian? Karena pernikahan
dan berjima dalam balutan perkawinan adalah sangat dicintai Allah dan
Rasul-Nya. Makanya hal ini sangat dibenci oleh musuh manusia. Ia selalu
berusaha memisahkan pasangan yang berada berada dalam naungan ridla
ilahi dan berusaha menghiasi mereka dengan segala sifat kemungkaran dan
perbuatan keji serta menciptakan kejahatan di tengah-tengah mereka.
Untuk itu hendaknya bagi suami-istri agar mewaspai keinginan syetan dan
usahanya dalam memisahkan mereka berdua. Ibnul Qayim berkata dalam
menta'liq hadits anjuran menikah bagi pemuda yang sudah ba'ah, "Setiap
kenikmatan membantu terhadap kenikmatan akhirat, yaitu kenikmatan yang
disenangi dan diridlai oleh Allah."
Seorang suami dalam
aktifitasnya bersama istrinya akan mendapatkan kenikmatan melalui dua
arah. Pertama, dari sisi kebahagiaan suami yang merasa senang dengan
hadirnya seorang istri sehingga perasaan dan juga penglihatannya
merasakan kenikmatan tersebut. Kedua, dari segi sampainya kepada ridla
Allah dan memberikan kenikmatan yang sempurna di akhirat. Oleh karena
itu, sudah selayaknya bagi orang berakal untuk menggapai keduanya. Bukan
sebaliknya, menggapai kenikmatan semu yang beresiko mendatangkan
penyakit dan kesengsaraan serta menghilangkan kenikmatan besar baginya
di akhirat. (Lihat: Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin, hal. 60)
Jima' di hari Jum'at
Uraian keutamaan hubungan suami istri di atas sebenarnya sudah cukup
menunjukkan pahala besar dalam aktifitas ranjang. Lalu adakah dalil
khusus yang menunjukkan keutamaan melakukan jima' di hari Jum'at dengan
pahala yang lebih berlipat?
Memang banyak pembicaran dan
perbincangan yang mengarah ke sana bahwa seolah-olah malam Jum'at dan
hari Jum'at adalah waktu yang cocok untuk melakukan hubungan
suami-istri. Keduanya akan mendapatkan pahala berlipat dan memperoleh
keutamaan khusus yang tidak didapatkan pada hari selainnya. Kesimpulan
tersebut tidak bisa disalahkan karena ada beberapa dalil pendukung yang
menunjukkan keutamaan mandi janabat pada hari Jum'at. Sedangkan mandi
janabat ada dan dilakukan setelah ada aktifitas percintaan suami-istri.
Dari Abu Hurairah radliyallhu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
"Barangsiapa mandi
di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang
pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di
waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa
yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing
gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti
berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima,
maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan
memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir
(khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850).
Para ulama
memiliki ragam pendapat dalam memaknai "ghuslal janabah" (mandi
janabat). Sebagaian mereka berpendapat bahwa mandi tersebut adalah mendi
janabat sehingga disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli
istrinya pada hari Jum'at. karena hal itu lebih bisa membantunya untuk
menundukkan pandangannya ketika berangkat ke masjid dan lebih membuat
jiwanya tenang serta bisa melaksanakan mandi besar pada hari tersebut.
Pemahaman ini pernah disebutkan oleh Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah dan juga disebutkan oleh sekelompok ulama Tabi'in.
Imam al-Qurthubi berkata, "sesungguhnya dia adalah pendapat yang peling
tepat." (Lihat: Aunul Ma'bud: 1/396 dari Maktabah Syamilah)
Pendapat di atas juga mendapat penguat dari riwayat Aus bin Aus
radliyallah 'anhu yang berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا
مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ
عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
"Barangsiapa mandi pada
hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak
berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan
tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya
dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun." (HR. Abu
Dawud no. 1077, Al-Nasai no. 1364, Ibnu Majah no. 1077, dan Ahmad no.
15585 dan sanad hadits ini dinyatakan shahih)
Menurut
penjelasan dari Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istambuli dalam Tuhfatul 'Arus,
bahwa yang dimaksud dengan mandi jinabat pada hadits di atas adalah
melaksanakan mandi bersama istri. Ini mengandung makna bahwa sebelumnya
mereka melaksanakan hubungan badan sehingga mengharuskan keduanya
melaksanakan mandi. Hikmahnya, hal itu disinyalir dapat menjaga
pandangan pada saat keluar rumah untuk menunaikan shalat Jum'at. Adapun
yang dimaksud dengan bergegas pergi menuju ke tempat pelaksanaan shalat
Jum'at pada awal waktu, adalah untuk memperoleh kehutbah pertama.
No comments:
Post a Comment