Kuburan kaum muslim tidaklah rata namun ditinggikan satu jengkal
Batas mana dari kuburan yang tidak boleh dibangun, dikapur, diplester dan diinjak atau diduduki ?
Mereka salah mentafsirkan hadits perintah meratakan kuburan yang merupakan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Imam Sayyidina Ali ra untuk meratakan atau menghancurkan kuburan kaum non muslim yang menyembah kuburan. Tidak ada hadits Nabi yang memerintahkan meratakan atau menghancurkan kuburan kaum muslim, menginjakpun dilarang apalagi menghancurkannya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, “Janganlah kamu biarkan satu patung pun melainkan harus kamu hancurkan, jangan pula kubur yang ditinggikan melainkan harus kamu ratakan.“ (Hadits ini shahih. Diriwayatkan Muslim (3/61), Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj (2/33/15), Abu Daud (3218), An Nasa’I (1/285), Tirmidzi (1/195), Baihaqi (3/4), Thoyalisi (155)
Dari Abu Hayyaj berkata; Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku dengannya? (yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang meninggi melainkan kamu ratakan.” (HR Muslim 1609)
Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Imam Sayyidina Ali maupun perintah Imam Sayyidina Ali kepada Abu Hayyaj adalah akan diutus mereka untuk menyebarkan Islam ke sebuah negeri yang mana penduduknya memang menjadikan patung dan kuburan sebagai sesembahan. Dengan kata lain perintah untuk menghancurkan kuburan orang-orang musyrik.
Adapun umat Islam, maka tak pernah sekalipun ada sejarahnya umat Islam menyembah kubur. Umat Islam membina kubur hanya untuk memuliakan ahlul qubur (terlebih kubur orang yang sholeh), menjaga kubur daripada hilang terhapus zaman, dan memudahkan para peziarah untuk berziarah, dalam menemukan kubur di tengah-tengah ribuan kubur lainnya, juga sebagai tempat berteduh para peziarah agar dapat mengenang dan menghayati dengan tenang orang yang ada di dalam kubur beserta amal serta segala jasa dan kebaikannya.
Batas kuburan yang merupakan batas yang tidak boleh diinjak, diduduki, dibangun, dikapuri adalah liang lahat tegak lurus ke atas dengan ditandai meninggikan tanah satu jengkal.
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Sufyan at Tamar, dia berkata, “Aku melihat makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”.
Diluar batas kuburan atau di luar batas tanah yang ditinggikan satu jengkal, boleh diinjak, diduduki, dibangun untuk kepentingan peziarah (kecuali tanah wakaf)
Begitupula diriwayatkan Umar ra mengetahui bahwa Anas ra sholat di atas kuburan sehingga beliau menginjak kuburan dikarenakan batas kuburan yang sudah tidak jelas, dan beliau hanya melangkah menghindari menginjak dalam batas kuburan lalu meneruskan sholatnya
Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, Kuburan!)” maka Anas ra melangkah (menghindari menginjak dalam batas kuburan), lalu meneruskan shalatnya. [Lihat Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379].
Kitapun tahu bahwa kuburan Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam kamar Sayyidah ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang merupakan bangunan, beratap dan dikapur yang masih dia gunakan untuk tinggal, lalu lalang dan melakukan shalat-shalat fardhu, sunnah dan kegiatan lainnya.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
No comments:
Post a Comment