Jangan khalwat,,kawen koboi anak bego
Perbedaan ikhtilat dengan khalwat
Pengertian Ikhtilat
Makna ikhtilat secara bahasa berasal dari kata
ikhtalatha-yakhtalithu-ikhtilathan, maknanya bercampur dan berbaur.
Maksudnya bercampurnya laki-laki dan wanita dalam suatu aktifitas
bersama, tanpa ada batas yang memisahkan antara keduanya.
Pengertian khalwat
Makna khalwat secara bahasa berasal dari kata khala-yakhlu maknanya
menyepi, menyendiri, mengasingkan diri bersama dengan seseorang tanpa
kersertaan orang lain. Secara istilah, khalwat sering digunakan untuk
hubungan antara laki-laki dan wanita dimana mereka menyepi dari
pendengaran, penglihatan, pengetahuan atau campur tangan pihak lain atau
mahramnya, kecuali hanya mereka berdua. Berkhalwat dengan seorang
wanita yang bukan mahramnya dapat pula terjadi ditengah keramaian.
Sejauh yang kami tahu tidak ada pelarangan ikhtilat dalam Al Qur'an dan
Hadits. Istilah ikhtilat adalah perkara baru (muhdats). Hal yang
telarang adalah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita yang
bukan mahramnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang seorang wanita
(yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.”
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan
sekali-kali dia bersendirian dengan seorang wanita yang tidak bersama
mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan."
"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang wanita, kecuali bersama mahramnya."
Artinya jika bersama mahramnya maka seorang lelaki boleh berikhtilat
(bertemu / bercampur baur) dengan seorang wanita yang bukan mahramnya
namun wajib menjaga pandangannya.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS An Nuur [24]:31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat". (QS An Nuur [24]:30)
Cara menjaga
pandangan adalah dengan bersikap ihsan yakni selalu menyaksikan Allah
dengan hati (ain bashiroh) atau selalu yakin bahwa dalam pengawasan
Allah Azza wa Jalla sehingga menghindarkan dirinya dari perbuatan yang
dibenciNya, menghindarkan dirinya dari perbuatan maksiat, menghindarkan
dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.
Lalu dia bertanya
lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu
takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya
(bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11).
Muslim yang
menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu
sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid
untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang
membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati
tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak
tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka
dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali,
jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu
hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” (HR
Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Telah menceritakan kepadaku
Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah
memberitakan kepada kami Ma'mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu
'Abbas mengatakan, belum pernah kulihat sesuatu yang lebih mirip dengan
dosa-dosa kecil daripada apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam; Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya
dari zina, ia pasti melakukan hal itu dengan tidak dipungkiri lagi, zina
mata adalah memandang, zina lisan adalah bicara, jiwa mengkhayal dan
kemaluan yang akan membenarkan itu atau mendustakannya (HR Bukhari 6122,
5744)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah
mengabarkan kepada kami Abu Hisyam Al Makhzumi telah menceritakan kepada
kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abu Shalih dari
bapaknya Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib
perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua
mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah
adalah berbicara, zina kedua tangan adalah menyentuh, zina kedua kaki
adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan dan berangan-angan,
sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan."
(HR Muslim 4802)
Dari ketiga hadits di atas dapat kita ketahui
bahwa kemungkinan besar akan terjadi seorang pria bertemu dan melihat,
mendengar suara dan berbicara , bersentuhan tangan dengan seorang wanita
yang bukan mahramnya namun jangan mengarah mendekati zina.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk.” (QS Al Israa [17]:32)
Sebagian orang mengada-ada larangan berikhtilat secara keseluruhan walaupun tanpa terjadi khalwat berdalilkan
Firman Allah ta’ala yang artinya
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu
waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu
kepadamu , dan Allah tidak malu yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu
kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu
menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya
sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi
Allah". (QS. Al-Ahzab : 53)
Diriwayatkan oleh Nabhan bekas
hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah
berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum
masuk ke rumahnya. Nabi bersabda: "pakailah tabir". Kemudian kedua
isteri Nabi itu berkata: "Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab
Nabi: "Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua
melihatnya?"
Kewajiban di balik tabir hanyalah berlaku pada istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maryam telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Ja'far bin Abu Katsir ia berkata; telah
mengabarkan kepadaku Humaid bahwa dia mendengar Anas radliallahu 'anhu
berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menetap bersama Shafiyyah
binti Huyyay selama tiga hari di jalan antara Khaibar dan Madinah,
beliau dibuatkan tenda bersama Shafiyyah. Kemudian aku mengundang kaum
Muslimin untuk menghadiri walimah (resepsi perkawinan) beliau. Saat itu
tidak ada roti dan tidak pula daging. Ketika itu beliau memerintahkan
Bilal untuk menghamparkan hamparan yang terbuat dari kulit, setelah itu
kurma, susu kering dan minyak samin diletakkan di atas hamparan
tersebut. Lalu kaum Muslimin sama berkata; Dia salah seorang dari
ummahatul muslimin ataukah sahaya beliau?. Sebagian mereka menjawab;
Jika beliau menghijabnya berarti termasuk salah seorang dari ummahatul
muslimin, jika beliau tidak menghijabnya berarti hanya seorang sahaya
beliau. Ketika berangkat pulang, beliau menempatkan Shafiyyah dibelakang
beliau dan menyelimutinya dengan hijab. (HR Bukhari 3891)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami
Bisyr bin Al Mufadldlal Telah menceritakan kepada kami Khalid bin
Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afran berkata;
suatu ketika, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masuk saat aku
membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas
kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak
wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan
prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari
mereka pun berkata, "Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang
mengetahui apa yang akan terjadi esok hari." Maka beliau bersabda:
"Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu
katakan." (HR Bukhari 4750)
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari
'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah dari 'Aisyah, bahwa Abu Bakar?
radliallahu 'anhu pernah masuk menemuinya pada hari-hari saat di Mina
(Tasyriq). Saat itu ada dua budak yang sedang bermain rebana, sementara
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupi wajahnya dengan kain.
Kemudian Abu Bakar melarang dan menghardik kedua sahaya itu, maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melepas kain yang menutupi wajahnya seraya
bersabda: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya
'Ied." Hari-hari itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq)." 'Aisyah berkata,
"Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupi aku dengan
(badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak Habasyah yang sedang
bermain di dalam masjid. Tiba-tiba 'Umar menghentikan mereka, maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Biarkanlah mereka dengan
jaminan Bani Arfidah, yaitu keamanan." (HR Bukhari 934)
Hal
yang perlu kita ingat selalu tidak boleh kita mengada-ada larangan yang
tidak dilarangNya , mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau
mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena perkara dosa, perkara
kewajiban jika ditinggalkan berdosa, perkara larangan dan pengharaman
jika dilanggar/dikerjakan berdosa hanyalah berasal dari Allah ta’ala.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal
pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Perbuatan
mengada-ada seperti itulah yang disebut dengan perkara baru (bid’ah)
dalam “urusan agama” atau dibeberapa hadits disebut dengan “urusan kami”
yakni urusan yang merupakan hak Allah ta’ala mensyariatkan atau
menetapkannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus
oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya
yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa
yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar
berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah
telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia
tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni,
dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga
puluh)
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa
yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang
didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah,
karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian
beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.”
(HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan
oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga
dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR
Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah [5]:3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak
ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu
yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang di syariatkan-Nya.”
Telah sempurna agama Islam
maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah
diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah
perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ
الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ
يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ
مَسْأَلَتِهِ
“Orang muslim yang paling besar dosanya
(kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya
tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin,
tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena
pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi
bid’ah dalam “urusan agama” (urusan kami) adalah bid’ah dalam urusan
yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau
mensyariatkannya atau bid’ah dalam perkara syariat yakni mengada-ada
larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak
diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa
yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu
tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia
ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba
itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu
yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya
terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta
sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta
itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu
mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada
riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib
dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang
demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
No comments:
Post a Comment